Rabu, 11 Juni 2014

PENDIDIKAN KARAKTER

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, dan nilai-nilai lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut (Kemendikbud, 2010). Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Kemendikbud, 2010).

Menyadari pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Agar peserta didik memiliki karakter mulia sesuai norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat, maka perlu dilakukan pendidikan karakter secara memadai. Menurut Kemendiknas (2010), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, jika diringkas diantaranya sebagai berikut:
       Pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter, (2) mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku, (3) menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter, (4) menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian, (5) memberi kesempatan kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik, (6) memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses, (7) mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta, (8) memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama, (9) adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter, (10) memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter, (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik (Lickona, 2007).

Daftar Pustaka

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2010. Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah pertama (Panduan).
Lickona, T, B, at al. 2007. Eleven Principles of Effective Character Education. Washington: Character Education Partnership (CEP).
Wibowo, A. 2012. Pendidikan Karakter (Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Minggu, 08 Juni 2014

AKAR TAK HINGGA


Bentuk akar adalah akar dari bilangan rasional yang hasilnya merupakan bilangan irasional. Dalam blog ini akan disampaikan contoh-contoh bentuk akar tak hingga.

CONTOH 1


CONTOH 2


CONTOH 3




Jumat, 30 Mei 2014

ARITMATIKA MODULAR


DAFTAR PUSTAKA
Zawaira, A dan Hitchcock, G. 2009. A Primer for mathematics Competitions. New York: Oxford University Press.

Raji, W. An Introductory Course in Elementary Number Theory

Selasa, 13 Mei 2014

EVALUASI PROGRAM


           A.         Pengertian Evaluasi Program
           Evaluasi program pembelajaran adalah proses sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan,                 mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajikan informasi tentang implementasi rancangan                   program pembelajaran yang telah disusun oleh guru untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat               keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program pembelajaran selanjutnya (Widoyoko,               2009:10).

    B.    Kegunaan Evaluasi Program Pembelajaran
        Ada empat kegunaan utama evaluasi program pembelajaran antara lain: (1) mengkomunikasikan program kepada publik, (2) menyediakan informasi bagi pembuat keputusan, (3) penyempurnaan program yang ada, dan (4) meningkatkan partisipasi.

Objek Evaluasi Program Pembelajaran.
Objek atau sasaran evaluasi program pembelajaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1) Evaluasi masukan pembelajarn menekankan pada penilaian karakteristik peserta didik, kelengkapan dan keadaan sarana dan prasarana pembelajaran, karakteristik dan kesiapan guru, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi pembelajaran, strategi pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran, serta keadaan lingkungan dimana pembelajaran berlangsung.

2)  Evaluasi proses pembelajaran menekankan pada penilaian pengelolaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi pembelajaran yang dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran, cara mengajar yang dilaksanakan, dan minat, sikap serta cara belajar siswa.

3)  Penilaian hasil pembelajaran merupakan upaya untuk melakukan pengukuran terhadap hasil belajar siswa, baik menggunakan tes maupun non-tes, dalam hal ini adalah penguasaan kompetensi oleh setiap siswa sesuai dengan karakteristik masing-masing mata pelajaran.

II.            Macam-macam Evaluasi Program

A.    Evaluasi Model Kirkpatrick
Model ini dikembangkan Kirkpatrick dengan bukunya Evaluating Training Program: The Four Levels. Evaluasi terhadap program training mencakup empat level yaitu:

1.            Evaluasi Reaksi (Reaction Evaluation)
Evaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta. Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses training berjalan memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan.
Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan  oleh instruktur, media pembelajaran yang tersedia, jadwal kegiatan sampai menu dan penyajian konsumsi yang disediakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga mudah dan lebih aktif.

2.           Evaluasi Belajar (Learning Evaluation)
Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau kenaikan keterampilan peserta setelah selesai mengikuti program (Kirkpatrick dalam Widoyoko, 2013: 176). Peserta dikatakan belajar apabila pada dirinya telah perubahan sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau kenaikan keterampilan. Penilaian evaluating learning ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan dengan mengukur reaksi. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket. Penilaian hasil belajar dapat dilakukan dengan kelompok pembanding, kelompok yang ikut pelatihan dan tidak ikut pelatihan diperbandingkan perkembangannya menurut periode tertentu (Kirkpatrick dalam Widoyoko, 2009: 176). Dapat juga dilakukan dengan membandingkan hasil pre test dengan post test, tes tertulis maupun tes kinerja.

3.           Evaluasi Perilaku (Behavior Evaluation)
Evaluasi perilaku ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap. Penilaian sikap pada evaluasi tahap 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan perubahan tingkah laku difokuskan setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti training akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal. Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku kelompok kontrol dengan perilaku peserta training, atau dengan membandingkan perilaku sebelum dan sesudah melakukan training, maupun dengan mengadakan survei dan atau interviu dengan atasan, pelatih, atau bawahan peserta training.

4.           Evaluasi Hasil (Result Evaluation)
Evaluasi hasil dalam level ke-4 difokuskan pada hasil akhir yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok peserta training, mengukur kinerja sebelum dan sesudah melakukan pelatihan, serta melihat perbandingan biaya dan keuntungan sebelum dan sesudah pelatihan, apakah ada kenaikan atau tidak (Kirkpatrick dalam Widoyoko, 2013: 178). Implementasi evaluasi model Kirkpatrick dalam program pembelajaran perlu dimodifikasi karena adanya perbedaan karakteristik kegiatan pembelajaran di sekolah dengan kegiatan pembelajaran di program pelatihan.

Kelebihan : (1) lebih komprehensif karena mencakup hard skill dan soft skill, (2) objek evaluasi bukan hanya hasil belajar semata, tetapi juga mencakup proses, output maupun outcomes, (3) lebih mudah diterapkan di level kelas karena tidak melibatkan banyak pihak.
Kelemahan : (1) kurang memperhatikan input, padahal keberhasilan output juga dipengaruhi input, (2) untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit tolok ukurnya juga sudah diluar jangkaun guru maupun sekolah.

B.     Evaluasi Model CIPP
Evaluasi model CIPP diperkenalkan pertama kali oleh Stufflebeam pada tahun 1965. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam menggolongkan sistem pendidikan menjadi empat dimensi, yaitu:

1)             Evaluasi Konteks (Context Evaluation)
Evalusi konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum dipenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan program (Sax dalam Widoyoko, 2013: 182). Evaluasi konteks membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang ingin dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.

2)               Evaluasi Masukan (Input evaluation)
Evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.

3)                  Evaluasi Proses (Process evaluation)
Evaluasi proses menekankan pada 3 tujuan: (1)  mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, (2) menyediakan informasi untuk keputusan program, dan (3) sebagai rekaman atau prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program.

4)                  Evaluasi Produk/Hasil (Product Evaluation)
Fungsi evaluasi produk untuk membantu pimpinan proyek atau guru membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir maupun modifikasi program. Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Kelebihan
Lebih komprehensif karena objek evaluasi bukan hanya hasil, tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses, maupun hasil.
Kelemahan
Penerapan model ini dalam program pembelajaran di kelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi tanpa adanya modifikasi.

C.     Evaluasi Model Wheel dari Beebe
Model wheel menyajikan model evaluasi pelatihan yang dilakukan dalam suatu program dengan menggunakan model roda (Beebe dalam Widoyoko, 2013: 182). Model evaluasi ini berbentuk roda karena menggambarkan usaha evaluasi yang berkaitan dan berkelanjutan dan satu proses ke proses selanjutnya. Model ini digunakan untuk mengetahui apakah yang dilakukan suatu instansi telah berhasil, untuk itu diperlukan alat untuk mengevaluasinya. Model wheel ini mempunyai tiga tahap utama yaitu (1) pembentukkan tujuan pembelajaran, (2) pengukuran outcome pembelajaran, dan (3) penginterpretasian hasil pengukuran dan penilaian.

D.    Evaluasi Model Provus (Discrepancy Model)
Model ini yang dikembangkan oleh Malcolm. Provus ini merupakan model evaluasi yang berangkat dari  asumsi bahwa untuk mengetahui kelayakan suatu program evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya dan diharapkan terjadi (standar) dengan apa yang sebenarnya terjadi sehingga dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan antara keduanya. Model evaluasi  Provus bertujuan untuk menganalisis suatu program sehingga dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan atau sebaiknya dihentikan mementingkan terdefinisikannya standard, performance, dan discrepancy secara rinci dan terukur.

E.     Evaluasi Model Stake (Countenance Model)
Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan menjadi tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu antecedent (context), transaction (process), dan outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu program pendidikan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara program dengan program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu.

F.      Evaluasi Model Brinkerhoff
Brinkerhoff & Cs (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut (Widoyoko, 2013: 187) :

1)         Fixed vs Emergent Evaluation Design
           Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya di mana si pemakai akan menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan.

2)         Formative vs Sumative Evaluation
          Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program sdang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau orang-orang program. Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu program sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan diteruskan atau dihentikan. Pada evalusi sumatif difokuskan pada variabel-variabel yang dianggap penting bagi sponsor program maupun pihak pembuat keputusan.

3)             Experimental and Quasi Experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal ini seperti subjek penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Apabila siswa atau program dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada populasi yang agak lebih luas. Dalam beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan atau tidak dikehendaki. Apabila proses diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen, seperti mempelajari nilai tes atau menganalisis penelitian yang dilakukan dan sebagainya.

G.    Evaluasi Model CSE-UCLA
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE-UCLA. CSE merupakan singkatan dari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dari  University of California in Los Angeles (Arikunto dan Jabar, 2014: 44). Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes memberikan penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi empat tahap yaitu (1) needs assessment, (2) program planning, (3) formative evaluation, dan (4) sumative evaluation.

              Needs                        Program                          Formative           Summative
            Assessment               Planning                          Evaluation          Evaluation
 

                      



         Gambar Tahap-tahap evaluasi model CSE-UCLA

1)           Needs Assessment
Dalam tahap ini evaluator memusatkan perhatian pada penentuan masalah.

2)             Program Planning
Dalam tahap kedua ini CSE model ini evaluator mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasikan pada tahap kesatu. Dalam tahap perencannan ini program PBM dievaluasi dengan cermat untuk mengetahui apakah rencana pembelajaran telah disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan. Evaluasi ini tidak lepas dari tujuan yang telah dirumuskan.

3)             Formative Evaluation
Dalam tahap ketiga ini evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaan program. Dengan demikian, evaluator diharapkan betul-betul terlibat dalam program karena harus mengumpulkan data dan berbagai informasi dari pengembang program.

4)             Sumative Evaluation
Dalam tahap keempat, evaluasi sumatif, para evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui tujuan yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan jika belum dicari bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.

H.    Evaluasi Model EKOP.
           Model EKOP merupakan hasil  modifikasi Kirkpatrick evaluation model dan model CIPP (Contex,            Input, Process, Product) dari Stufflebeam  (Widoyoko, 2013: 199). Evaluasi program pembelajaran          model EKOP mempunyai dua komponen utama, yaitu kualitas pembelajaran dan output pembelajaran.           Aspek kualitas pembelajaran meliputi aspek: kinerja guru dalam kelas, fasilitas pembelajaran, iklim                 kelas, sikap dan motivasi belajar siswa. Penilaian output pembelajaran meliputi penilaian terhadap                  kecakapan akademik, kecakapan personal dan penilaian terhadap kecakapan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S dan Cepi, A. J. 2010. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.

Widoyoko, E. P. 2013. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik Dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 

Senin, 12 Mei 2014

Pembahasan Soal UN Matematika Tahun 2013/2014


Berikut akan diberikan pembahasan soal UN matematika tahun 2013/2014 yang dianggap serupa dengan soal PISA 2012.


Gambar Perbandingan Soal UN 2013/2014 dengan Soal PISA 2012

Penyelesaian






MODEL PEMBELAJARAN PART I

I.        Pengertian Model Pembelajaran

Model pembelajaran (Suherman, 2003: 7) adalah pola interaksi siswa dengan guru dalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas. Model pembelajaran matematika antara lain model pembelajaran klasikal, individu, diagnostik, remidial, terprogram, dan modul.

II.          Hakikat Pembelajaran Kontekstual

A.    Pengertian model CTL
Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata sehingga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Aqib, 2013: 4).

B.     Komponen CTL
1.      Konstruktivisme
a.    Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
b.      Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkontruksi” bukan menerima pengetahuan.
2.      Inquiry
a.       Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
b.      Siswa belajar menggunakanketerampilan berpikir kritis.
3.      Questioning (bertanya)
a.       Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
b.      Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis Inquiry.
4.      Learning Community (Komunitas Belajar)
a.       Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
b.      Bekerja sama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
c.       Tukar pengalaman
d.      Berbagi ide
5.      Modeling (Pemodelan)
a.       Proses penampilansuatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar.
b.      Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
6.      Reflection (Refleksi)
a.       Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
b.      Mencatat apa yang telah dipelajari.
c.       Membuat jurnal, karya ilmiah, diskusi kelompok.
7.      Authentic Assessment
a.       Mengukur ketrampilan dan pengetahuan siswa.
b.      Penilaian produk.
c.       Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual.

C.     Karakteristik CTL
1.      Kerjasama
2.      Saling menunjang
3.      Menyenangkan
4.      Belajar dengan bergairah
5.      Pembelajaran terintegrasi
6.      Menggunakan berbagai sumber
7.      Siswa aktif
8.      Sharing dengan teman
9.      Siswa kritis guru kreatif
10.  Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain.

D.    Pendekatan CTL
1.      Problem-Based Learning
Pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar melalui berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah dalam rangka memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran.
2.      Authentic Instruction
Pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna melalui pengembangan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata.
3.      Inquiry-Based Learning
Pendekatan pembelajaran yang mengikuti metodologi sains dan memberi kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4.      Project-Based Learning
Pendekatan pembelajaran yang memperkenankan siswa untuk bekerja mandiri dalam mengkontruksi pembelajarannya (pengetahuan dan keterampilan baru), dan mengkulminasikannya dalam produk nyata.
5.      Work-Based Learning
Pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa mengggunakankonteks tempat kerja untuk mempelajari materi ajar dan menggunakannya kembali di tempat kerja.
6.      Service Learning
Pendekatan pembelajaran yang menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya.
7.      Cooperative Learning
Pendekatan pembelajaranyang menggunakan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam rangka memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan.

E.     Diagram CTL.


Diagram di atas menunjukkan bahwa tujuan akhir pelaksanaan CTL adalah mendukung pembelajaran yang berkualitas bagi siswa.

III.              Model-model Pembelajaran CTL

1.      Examples Non-Examples
Langkah-langkah Examples Non-Examples
a.       Guru mempersiapkan gambar-gambar  sesuai dengan tujuan pembelajaran.
b.      Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui LCD atau OHP.
c.Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk memperhatikan/menganalisa pada kertas.
d.    Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
e.   Tiap kelompok diberi kesemptan membacakan hasil diskusinya. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
f.       Kesimpulan.
Kelebihan:
a.       Siswa menjadi lebih kritis dalam menganalisa gambar.
b.      Siswa dapat mengetahui aplikasi dari materi melalui contoh gambar yang diberikan.
c.       Siswa memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kelemahan:
a.       Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
b.      Memakan waktu yang lama

2.      Picture and Picture
Langkah-langkah Picture and Picture
a.       Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
b.      Menyajikan materi sebagai pengantar.
c.       Guru meneunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan yang berkaitan dengan materi.
d.   Guru memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
e.       Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran untuk gambar tersebut.
f.   Dari alasan/urutan  gambar tersebut guru mulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
g.      Kesimpulan/rangkuman.
Kelebihan:
a.       Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa
b.      Melatih berpikir logis dan sistematis
Kelemahan:
a.       Memakan banyak waktu
b.      Banyak siswa yang pasif

3.      Numbered Heads Together
Numbered Heads Together diperkenalkan oleh Spencer Kagan. Langkah-langkah Numbered Heads Together:
a.       Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
b.      Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
c.       Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya.
d.      Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka.
e.       Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
f.       Kesimpulan.
Kelebihan:
a.       Setiap siswa menjadi siap semua
b.      Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh
c.       Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai
Kelemahan:
a.       Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru
b.      Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru

4.      Cooperative Script
Model ini diperkenalkan oleh Densereau. Langkah-langkah Cooperative Script:
a.       Guru membagi siswa untuk berpasangan.
b.      Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
c.       Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
d.   Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya.
e.       Sementara pendengar melakukan hal berikut.
f.       Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap.
g.   Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
h.      Bertukar peran, semula sebagai pembicara menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan di atas.
i.        Kesimpulan siswa bersama-sama dengan guru.
j.        Penutup.
Kelebihan:
a.       Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan
b.      Setiap siswa mendapat peran
c.       Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan
d.      Siswa dapat melatih keberanian diri untuk tampil di depan orang banyak
Kelemahan:
a.       Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
b.   Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut)

5.      Kepala Bernomor Struktur
Model ini merupakan modifikasi dari NHT. Langkah-langkah Kepala Bernomor Struktur:
a.   Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa berdasarkan nomor terhadap tugas yang berangkai. Misalnya, siswa nomor satu bertugas mencatat soal. Siswa nomor dua mengerjakan soal dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya.
b.  Jika perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lainnya. Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau mencocokkan hasil kerja sama mereka.
c.       Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain.
d.      Kesimpulan.

6.      Student Teams-Achievement Divisions (STAD)
Model STAD diperkenalkan oleh Slavin. Langkah-langkah STAD:
a.  Membentuk kelompok yang anggotanya sebanyak 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dan lain-lain)
b.      Guru menyajikan pelajaran.
c.    Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
d.  Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis kita tidak boleh saling membantu.
e.       Memberi evaluasi.
f.       Kesimpulan.
Kelebihan:
a.       Seluruh siswa menjadi lebih siap
b.      Melatih kerjasama dengan baik
Kelemahan:
a.       Anggota kelompok semua mengalami kesulitan
b.      Membedakan siswa

7.      Jigsaw
Model pembelajaran Jigsaw diperkenalkan oleh Areson, Blaney, Stephen, Sikes, dan Snap. Langkah-langkah Jigsaw:
a.       Siswa dikelompokkan ke dalam 4 anggota tim.
b.      Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda.
c.       Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan.
d.      Anggota tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/subbagian yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan subbab mereka.
e.       Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang subbab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
f.       Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi.
g.      Guru memberi evaluasi.
h.      Penutup.


8.      Problem Based Introduction (PBI)
Langkah-langkah Problem Based Introduction (PBI):
a.  Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
b.     Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain-lain).
c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpul data, hipotesis, dan pemecahan masalah.
d.     Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
e.    Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

9.      Artikulasi
Langkah-langkah model pembelajaran Artikulasi:
a.       Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
b.      Guru menyajikan materi sebagaiman biasa.
c.       Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan dua orang.
d.    Suruhlah seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru, dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kelompok lainnya.
e.  Suruh siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancarannya dngan teman pasangannya. Sampai sebagian siswa sudah menyampaikan hasil wawancarannya.
f.       Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami siswa.
g.      Kesimpulan/penutup.

10.  Mind Mapping
Model pembelajaran Mind Mapping diperkenalkan oleh Toni Buzan. Langkah-langkah model pembelajaran Mind Mapping:
a.      Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
b. Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa/sebaliknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban.
c.        Membentuk kelompok yang anggotannya 2-3 orang.
d.      Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi.
e.     Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya, guru mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru.
f.      Dari data-data di papan, siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi bandingan sesuai konsep yang disediakan guru.

11.  Make-A Match
Model pembelajaran Make-A Match diperkenalkan oleh Lena Curran. Langkah-langkah model pembelajaran Make-A Match:
a.   Guru menyiapkan beberapa kartu atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
b.      Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
c.       Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
d.   Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban).
e.       Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.
f.       Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat yang berbeda sebelumnya.
g.      Demikian seterusnya.
h.      Kesimpulan/penutup.

12.  Think Pair and Share
Model pembelajaran Think Pair and Share diperkenalkan oleh Frank Lyman. Langkah-langkah model pembelajaran Think Pair and Share:
a.       Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai.
b.      Siswa diminta untuk berpikir tentaang materi/permasalahan yang disampaikan guru.
c.       Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang)
d.      Guru memimpin pleno kecil disskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya.
e.   Berawal dari kegiatan tersebut, mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa.
f.       Guru memberi kesimpulan.
g.      Penutup.

13.  Debate
Langkah-langkah model pembelajaran Debate:
a.       Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yang lain kontra.
b.     Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh kedua kelompok di atas.
c.   Setelah selesai membaca materi. Guru menunjuk salah satu anggota kelompok pro untuk berbicara saat ditanggapi atau dibalas oleh kelompok kontra demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya.
d.    Sementara siswa menyampaikan gagasannya, guru menulis inti/ide dari setiap pembicaraan di papan tulis. Sampai sejumlah ide yang diharapkan guru terpenuhi.
e.       Guru menambahkaan konsep/ide yang belum terungkap.
f.       Dari data-data di papan tersebut, guru mengajak siswa membuat kesimpulan/rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.
Kelebihan:
a.       Peserta didik menajadi lebih kritis
b.      Suasana kelas menjadi lebih bersemangat
c.       Peserta didik dapat mengungkapakan pendapatnya dalam forum
d.      Peserta didik mnjadi lebih besar hati, ketika pendapatnya tidak sesuai dengan peserta yang lain
Kelemahan:
a.       Biasanya hanya siswa yang aktif saja yang berbicara
b.     Terkadang timbul perselisihan antar siswa setelah berdebat karena tidak terima pendapatnya disanggah
c.       Biasanya timbul rasa ingin saling menjatuhkan
d.      Memakan waktu yang cukup lama

14.  Role Playing
Langkah-langkah model pembelajaran Role Playing:
a.       Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
b.   Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari sebelum kegiatan belajar mengajar.
c.       Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.
d.      Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
e.  Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkannya.
f.    Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan.
g.      Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas.
h.      Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
i.        Guru memberikan kesimpulan secara umum.
j.        Evalusi
k.      Penutup.
Kelebihan:
a.       Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh
b.     Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda
c.    Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan
d.      Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak
Kelemahan:
a.       Terkadang siswa lebih fokus pada permainan dari pada materi dalam permainan
b.      Waktu yang dibutuhkan cukup lama

15.  Group Investigation
Langkah-langkah model pembelajaran Group Investigation:
a.       Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok heterogen.
b.      Guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok.
c.       Guru memanggil ketua-ketua untuk satu materi tugas sehingga kelompok  mendapat tugas satu materi/tugas yang berbeda dari kelompok lain.
d.  Masing-masing kelompok membahas materi yang sudah ada secara kooperatif berisi penemuan.
e.       Setelah selesai diskusi, lewat juru bicara, ketua menyampaikan hasil pembahasan kelompok.
f.       Guru memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan.
g.      Evaluasi.
h.      Penutup.