Rabu, 11 Juni 2014

PENDIDIKAN KARAKTER

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, dan nilai-nilai lainnya. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut (Kemendikbud, 2010). Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Kemendikbud, 2010).

Menyadari pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan  di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian  peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. Agar peserta didik memiliki karakter mulia sesuai norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat, maka perlu dilakukan pendidikan karakter secara memadai. Menurut Kemendiknas (2010), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, jika diringkas diantaranya sebagai berikut:
       Pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter, (2) mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku, (3) menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter, (4) menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian, (5) memberi kesempatan kpeada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik, (6) memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses, (7) mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta, (8) memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama, (9) adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter, (10) memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter, (11) mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik (Lickona, 2007).

Daftar Pustaka

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2010. Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah pertama (Panduan).
Lickona, T, B, at al. 2007. Eleven Principles of Effective Character Education. Washington: Character Education Partnership (CEP).
Wibowo, A. 2012. Pendidikan Karakter (Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Minggu, 08 Juni 2014

AKAR TAK HINGGA


Bentuk akar adalah akar dari bilangan rasional yang hasilnya merupakan bilangan irasional. Dalam blog ini akan disampaikan contoh-contoh bentuk akar tak hingga.

CONTOH 1


CONTOH 2


CONTOH 3




Jumat, 30 Mei 2014

ARITMATIKA MODULAR


DAFTAR PUSTAKA
Zawaira, A dan Hitchcock, G. 2009. A Primer for mathematics Competitions. New York: Oxford University Press.

Raji, W. An Introductory Course in Elementary Number Theory

Selasa, 13 Mei 2014

EVALUASI PROGRAM


           A.         Pengertian Evaluasi Program
           Evaluasi program pembelajaran adalah proses sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan,                 mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajikan informasi tentang implementasi rancangan                   program pembelajaran yang telah disusun oleh guru untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat               keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program pembelajaran selanjutnya (Widoyoko,               2009:10).

    B.    Kegunaan Evaluasi Program Pembelajaran
        Ada empat kegunaan utama evaluasi program pembelajaran antara lain: (1) mengkomunikasikan program kepada publik, (2) menyediakan informasi bagi pembuat keputusan, (3) penyempurnaan program yang ada, dan (4) meningkatkan partisipasi.

Objek Evaluasi Program Pembelajaran.
Objek atau sasaran evaluasi program pembelajaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1) Evaluasi masukan pembelajarn menekankan pada penilaian karakteristik peserta didik, kelengkapan dan keadaan sarana dan prasarana pembelajaran, karakteristik dan kesiapan guru, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi pembelajaran, strategi pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran, serta keadaan lingkungan dimana pembelajaran berlangsung.

2)  Evaluasi proses pembelajaran menekankan pada penilaian pengelolaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi pembelajaran yang dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran, cara mengajar yang dilaksanakan, dan minat, sikap serta cara belajar siswa.

3)  Penilaian hasil pembelajaran merupakan upaya untuk melakukan pengukuran terhadap hasil belajar siswa, baik menggunakan tes maupun non-tes, dalam hal ini adalah penguasaan kompetensi oleh setiap siswa sesuai dengan karakteristik masing-masing mata pelajaran.

II.            Macam-macam Evaluasi Program

A.    Evaluasi Model Kirkpatrick
Model ini dikembangkan Kirkpatrick dengan bukunya Evaluating Training Program: The Four Levels. Evaluasi terhadap program training mencakup empat level yaitu:

1.            Evaluasi Reaksi (Reaction Evaluation)
Evaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta. Program training dianggap efektif apabila proses training dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik dan termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi apabila proses training berjalan memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan.
Kepuasan peserta training dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang digunakan  oleh instruktur, media pembelajaran yang tersedia, jadwal kegiatan sampai menu dan penyajian konsumsi yang disediakan. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket sehingga mudah dan lebih aktif.

2.           Evaluasi Belajar (Learning Evaluation)
Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau kenaikan keterampilan peserta setelah selesai mengikuti program (Kirkpatrick dalam Widoyoko, 2013: 176). Peserta dikatakan belajar apabila pada dirinya telah perubahan sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau kenaikan keterampilan. Penilaian evaluating learning ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan dengan mengukur reaksi. Mengukur reaksi dapat dilakukan dengan reaction sheet dalam bentuk angket. Penilaian hasil belajar dapat dilakukan dengan kelompok pembanding, kelompok yang ikut pelatihan dan tidak ikut pelatihan diperbandingkan perkembangannya menurut periode tertentu (Kirkpatrick dalam Widoyoko, 2009: 176). Dapat juga dilakukan dengan membandingkan hasil pre test dengan post test, tes tertulis maupun tes kinerja.

3.           Evaluasi Perilaku (Behavior Evaluation)
Evaluasi perilaku ini berbeda dengan evaluasi terhadap sikap. Penilaian sikap pada evaluasi tahap 2 difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih bersifat internal, sedangkan perubahan tingkah laku difokuskan setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti training akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal. Evaluasi perilaku dapat dilakukan dengan membandingkan perilaku kelompok kontrol dengan perilaku peserta training, atau dengan membandingkan perilaku sebelum dan sesudah melakukan training, maupun dengan mengadakan survei dan atau interviu dengan atasan, pelatih, atau bawahan peserta training.

4.           Evaluasi Hasil (Result Evaluation)
Evaluasi hasil dalam level ke-4 difokuskan pada hasil akhir yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Evaluasi hasil akhir ini dapat dilakukan dengan membandingkan kelompok kontrol dengan kelompok peserta training, mengukur kinerja sebelum dan sesudah melakukan pelatihan, serta melihat perbandingan biaya dan keuntungan sebelum dan sesudah pelatihan, apakah ada kenaikan atau tidak (Kirkpatrick dalam Widoyoko, 2013: 178). Implementasi evaluasi model Kirkpatrick dalam program pembelajaran perlu dimodifikasi karena adanya perbedaan karakteristik kegiatan pembelajaran di sekolah dengan kegiatan pembelajaran di program pelatihan.

Kelebihan : (1) lebih komprehensif karena mencakup hard skill dan soft skill, (2) objek evaluasi bukan hanya hasil belajar semata, tetapi juga mencakup proses, output maupun outcomes, (3) lebih mudah diterapkan di level kelas karena tidak melibatkan banyak pihak.
Kelemahan : (1) kurang memperhatikan input, padahal keberhasilan output juga dipengaruhi input, (2) untuk mengukur impact sulit dilakukan karena selain sulit tolok ukurnya juga sudah diluar jangkaun guru maupun sekolah.

B.     Evaluasi Model CIPP
Evaluasi model CIPP diperkenalkan pertama kali oleh Stufflebeam pada tahun 1965. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam menggolongkan sistem pendidikan menjadi empat dimensi, yaitu:

1)             Evaluasi Konteks (Context Evaluation)
Evalusi konteks merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum dipenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan program (Sax dalam Widoyoko, 2013: 182). Evaluasi konteks membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang ingin dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.

2)               Evaluasi Masukan (Input evaluation)
Evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.

3)                  Evaluasi Proses (Process evaluation)
Evaluasi proses menekankan pada 3 tujuan: (1)  mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, (2) menyediakan informasi untuk keputusan program, dan (3) sebagai rekaman atau prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program.

4)                  Evaluasi Produk/Hasil (Product Evaluation)
Fungsi evaluasi produk untuk membantu pimpinan proyek atau guru membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir maupun modifikasi program. Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Kelebihan
Lebih komprehensif karena objek evaluasi bukan hanya hasil, tetapi juga mencakup konteks, masukan, proses, maupun hasil.
Kelemahan
Penerapan model ini dalam program pembelajaran di kelas mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi tanpa adanya modifikasi.

C.     Evaluasi Model Wheel dari Beebe
Model wheel menyajikan model evaluasi pelatihan yang dilakukan dalam suatu program dengan menggunakan model roda (Beebe dalam Widoyoko, 2013: 182). Model evaluasi ini berbentuk roda karena menggambarkan usaha evaluasi yang berkaitan dan berkelanjutan dan satu proses ke proses selanjutnya. Model ini digunakan untuk mengetahui apakah yang dilakukan suatu instansi telah berhasil, untuk itu diperlukan alat untuk mengevaluasinya. Model wheel ini mempunyai tiga tahap utama yaitu (1) pembentukkan tujuan pembelajaran, (2) pengukuran outcome pembelajaran, dan (3) penginterpretasian hasil pengukuran dan penilaian.

D.    Evaluasi Model Provus (Discrepancy Model)
Model ini yang dikembangkan oleh Malcolm. Provus ini merupakan model evaluasi yang berangkat dari  asumsi bahwa untuk mengetahui kelayakan suatu program evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya dan diharapkan terjadi (standar) dengan apa yang sebenarnya terjadi sehingga dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan antara keduanya. Model evaluasi  Provus bertujuan untuk menganalisis suatu program sehingga dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan atau sebaiknya dihentikan mementingkan terdefinisikannya standard, performance, dan discrepancy secara rinci dan terukur.

E.     Evaluasi Model Stake (Countenance Model)
Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi, yaitu description dan judgement dan membedakan menjadi tiga tahap dalam program pendidikan, yaitu antecedent (context), transaction (process), dan outcomes. Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu program pendidikan, kita melakukan perbandingan yang relatif antara program dengan program yang lain, atau perbandingan yang absolut yaitu membandingkan suatu program dengan standar tertentu.

F.      Evaluasi Model Brinkerhoff
Brinkerhoff & Cs (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator-evaluator lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut (Widoyoko, 2013: 187) :

1)         Fixed vs Emergent Evaluation Design
           Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara sistematik sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan program disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya di mana si pemakai akan menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan.

2)         Formative vs Sumative Evaluation
          Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat implementasi program sdang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang dirumuskan oleh karyawan atau orang-orang program. Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu program sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu program tertentu akan diteruskan atau dihentikan. Pada evalusi sumatif difokuskan pada variabel-variabel yang dianggap penting bagi sponsor program maupun pihak pembuat keputusan.

3)             Experimental and Quasi Experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal ini seperti subjek penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan. Apabila siswa atau program dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada populasi yang agak lebih luas. Dalam beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan atau tidak dikehendaki. Apabila proses diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen, seperti mempelajari nilai tes atau menganalisis penelitian yang dilakukan dan sebagainya.

G.    Evaluasi Model CSE-UCLA
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE-UCLA. CSE merupakan singkatan dari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dari  University of California in Los Angeles (Arikunto dan Jabar, 2014: 44). Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes memberikan penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi empat tahap yaitu (1) needs assessment, (2) program planning, (3) formative evaluation, dan (4) sumative evaluation.

              Needs                        Program                          Formative           Summative
            Assessment               Planning                          Evaluation          Evaluation
 

                      



         Gambar Tahap-tahap evaluasi model CSE-UCLA

1)           Needs Assessment
Dalam tahap ini evaluator memusatkan perhatian pada penentuan masalah.

2)             Program Planning
Dalam tahap kedua ini CSE model ini evaluator mengumpulkan data yang terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang telah diidentifikasikan pada tahap kesatu. Dalam tahap perencannan ini program PBM dievaluasi dengan cermat untuk mengetahui apakah rencana pembelajaran telah disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan. Evaluasi ini tidak lepas dari tujuan yang telah dirumuskan.

3)             Formative Evaluation
Dalam tahap ketiga ini evaluator memusatkan perhatian pada keterlaksanaan program. Dengan demikian, evaluator diharapkan betul-betul terlibat dalam program karena harus mengumpulkan data dan berbagai informasi dari pengembang program.

4)             Sumative Evaluation
Dalam tahap keempat, evaluasi sumatif, para evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui tujuan yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan jika belum dicari bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.

H.    Evaluasi Model EKOP.
           Model EKOP merupakan hasil  modifikasi Kirkpatrick evaluation model dan model CIPP (Contex,            Input, Process, Product) dari Stufflebeam  (Widoyoko, 2013: 199). Evaluasi program pembelajaran          model EKOP mempunyai dua komponen utama, yaitu kualitas pembelajaran dan output pembelajaran.           Aspek kualitas pembelajaran meliputi aspek: kinerja guru dalam kelas, fasilitas pembelajaran, iklim                 kelas, sikap dan motivasi belajar siswa. Penilaian output pembelajaran meliputi penilaian terhadap                  kecakapan akademik, kecakapan personal dan penilaian terhadap kecakapan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S dan Cepi, A. J. 2010. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.

Widoyoko, E. P. 2013. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik Dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Belajar.