A. Pengertian teori belajar
Teori belajar (Suherman, 2003: 27) adalah
teori yang mempelajari perkembangan intelektual siswa. Didalamnya terdiri dari
dua hal, yaitu:
1. uraian apa yang terjadi dan diharapkan
terjadi pada intelektual anak
2. uraian tentang kegiatan intelektual
anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.
B. Pentingnya teori belajar
Teori belajar ini berguna
dalam meningkatkan kemampuan menjadi guru profesional, karena dengan menguasai
materi teori belajar serta aplikasinya akan meningkatkan wawasan kemampuan
untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika di dalam kelas. Selain itu,
guru juga harus mengetahui tingkat perkembangan mental dan bagaimana pengajaran
harus dilakukan sesuai dengan perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak
memperhatikan perkembangan mental anak akan mengakibatkan anak mengalami
kesulitan karena tidak sesuai dengan kemampuan siswa dalam menyerap materi.
1. Aliran psikologi tingkah laku
a. Thorndike
Edward L.Thorndike (1874-1949)
mengemukakan beberapa hukum yang dikenal dengan sebutan law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila
respon siswa terhadap stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan.
Rasa senang atau kepuasan ini timbul sebagai akibat dari pemberian pujian atau
ganjaran lainnya. Hukum belajar ini antara lain hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise), hukum akibat (law of effect).
b. Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya
dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ausubel membedakan antara
belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya
menerima, jadi tinggal menghafalkanya, tetapi pada belajar menemukan konsep
ditemukan oleh siswa jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Pada belajar
bermakna, materi yang telah diperoleh dikembangkan dengan keadaan lain sehingga
belajarnya lebih dimengerti.
c. Skinner
Burhus Frederic Skinner
menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting
dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan.
Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah
laku yang subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan
meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang
sifatnya dapat diamati dan diukur. Penguatan menurut Skinner ada dua yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Contoh penguatan positif yaitu pujian
yang diberikan pada anak. Penguatan negatif misalnya teguran, peringatan, atau
sangsi.
d. Gagne
Gagne menyatakan dalam belajar
matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa yaitu objek langsung dan
objek tak langsung. Objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan
memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, dan
tahu bagaimana semestinya belajar. Gagne mengelompokkan belajar ke dalam 8 tipe
yaitu
1) Belajar, belajar yang paling rendah
karena tidak ada niat atau spontanitas. Contohnya menyenangi atau menghindari
pelajaran karena akibat perilaku.
2) Stimulus respon, kondisi belajar yang
ada niat, diniati, dan responya jasmaniah. Contohnya meiru tulisan guru di
papan tulis.
3) Rangkaian gerak adalah perbuatan
jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangkaian stimulus respon.
4) Rangkaian verbal, perbuatan lisan
terurut dari dua kegiatan atau lebih dalam rangkaian stimulus respon. Misalnya
mengemukakan pendapat pertanyaan menjawab.
5) Membedakan adalah belajar memisahkan
rangkaian.
6) Pembentukkan konsep yaitu belajar
melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa untuk dijadikan
kelompok.
7) Pembentukkan aturan, misalnya
pemahaman terhadap rumus kuadratis dan menggunakannya dalam menyelesaikan
persamaan kuadrat.
8) Pemecahan masalah
e. Pavlov
Pavlov melakukan percobaan terhadap
seekor anjing. Anjing itu dikurung dalam suatu kandang dengan waktu tertentu
dan diberi makan. Setiap memberi makan Pavlov membunyikan bel pada jangka
tertentu anjing mengeluarkan air liur, meskipun tidak diberi makan. Pavlov
mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning).
Dalam kegiatan belajar mengajar, agar siswa belajar dengan baik maka harus
dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan soal Pekerjaan Rumah dengan baik,
biasakanlah dengan memeriksannya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap
hasil pekerjaannya.
Gambar 1.1. Penelitian Pavlov terhadap pembiasaan pada anjing
f. Baruda
Baruda mengemukakan bahwa siswa
belajar itu melalui meniru. Meniru disini bukan menyotek, tetapi meniru hal-hal
yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Misalnya jika tulisan guru baik,
berbicara sopan, murid akan menirunya.
2. Aliran psikologi kognitif
a. Piaget
Piaget (Suherman, 2003: 36) menyatakan struktur kognitif sebagai skemata
(Schemes) yaitu kumpulan dari
skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, memberikan respon
terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata. Piaget mengemukakan ada
empat tahap perkembangan kognitif setiap individu, yaitu:
1) Sensori Motor (dari lahir- sekitar
umur 2 tahun), dalam tahap ini pengalaman anak diperoleh melalui perbuatan
fisik (gerakan tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Misalnya, anak sudah
bisa berbicara meniru suara kendaraan.
2) Pra Operasi (sekitar umur 2 tahun – sekitar
umur 7 tahun), dalam tahap ini anak sudah dapat mengklasifikasikan sekelompok
objek (classifying), menata letak
benda-benda menurut urutan tertentu (seriation),
dan membilang (counting). Misalnya,
perlihatkan 3 buah kelereng yang sama besar di atas meja. Kemudian letak
kelereng diubah menjadi agak berjauhan. Apabila ditanyakan kepada anak yang
masih pada tahap ini. Ia akan menjawab kelereng yang letaknya berjauhan lebih
banyak.
3) Operasi Konkrit (sekitar umur 7 tahun
– sekitar umur 11 tahun), dalam tahap ini anak telah memahami operasi logis
dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami
konsep kekekalan, kemampuan mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang
suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berpikir
reversibel. Piaget mengidentifikasi enam jenis konsep kekekalan yang berkembang
selama operasi konkrit, yaitu:
a) Kekekalan banyak (6-7 tahun)
b) Kekekalan materi (7-8 tahun)
c) Kekekalan panjang (7-8 tahun)
d) Kekekalan luas (8-9 tahun)
e) Kekekalan berat (9-10 tahun)
f) Kekekalan volume (11-12 tahun)
4) Operasi Formal (sekitar umur 11 tahun
– seterusnya), dalam tahap ini anak sudah mampu melakukan penalaran dengan
menggunakan hal-hal yang abstrak. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan
dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur
kognitifnya telah mampu hanya menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi,
dan generalisasi.
b. Bruner
Jerome Bruner menyatakan bahwa belajar
matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang
diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan
struktur-struktur. Proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk
memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang diteliti
Brunner, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan pola struktur yang
terdapat dalam benda yang diperhatikan. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak
dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Bruner menyatakan bahwa anak melewati tiga
tahap berikut:
1) Tahap enaktif, dalam tahap ini anak
secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik) objek.
2) Tahap ikonik, dalam tahap ini kegiatan
anak berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang
dimanipulasinya.
3) Tahap simbolik, dalam tahap ini anak
memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu.
c. Gestalt
Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia
mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan
oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
1) Penyajian konsep harus lebih
mengutamakan pengertian
2) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa
3) Mengatur suasana kelas agar siswa siap
belajar.
Dari ketiga hal di atas, dalam
menyajikan pelajaran guru jangan memberi konsep yang harus diterima begitu
saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses terbentuknya
konsep daripada hasil akhir.
d. Brownell
W Brownell mengemukakan bahwa belajar
matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia
menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakaan suaatu proses yang
bermakna. Bila diperhatikan teori yang dikemukakan Brownell sesuai dengan teori
belajar mengajar Gestalt. Menurut teori Gestalt, latiahal hafal atau disebut drill adalah sangat penting dalam
kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
e. Dienes
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya
matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan
hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkategorikan
hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa
tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini berarti bahwa benda-benda atau
objek-objek dalam bentuk permainan sangat berperan bila dimanipulasi dengan
baik dalam pengajaran matematika.
1) Permainan bebas, tahap belajar konsep
yang aktivitasnya tidak berstrukturr dan tidak diarahkan.
2) Permainan disertai aturan, anak-anak
sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep
tertentu.
3) Representasi, tahap pengambilan
kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis.
4) Simbolisasi, tahap belajar konsep yang
membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan
menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
5) Formalisasi, tahap belajar dimana
anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan
sifat-sifat baru dari konsep tersebut.
f. Van
Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat
teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954). Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak
dalam belajar geometri, yaitu:
1) Tahap pengenalan (Visualisasi), dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu
bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya
sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya. Contoh, jika padaa seorang
anak diperlihatkan sebuah kubus ia belum mengetahui sifat-sifat kubus tersebut.
2) Tahap analisis, dalam tahap ini siswa
sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun geometri yang diamati.
Misalnya, di saat ia mengamati persegi panjang, ia sudah mengetahui bahwa
terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut sejajar.
3) Tahap pengurutan (deduksi informal),
dalam tahap ini siswa mulai melakukan penarikan kesimpulan yang kita kenal
dengan berpikir induktif. Misal, anak sudah mengenali bahwa bujur sangkar
adalah jajar genjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang.
4) Tahap deduksi, tahap anak sudah mampu
menarik kesimpulan secara deduktif, yang penarikan kesimpulan yang bersifat
umum hal-hal yang bersifat khusus. Misal, anak memulai mengenal dalil.
5) Tahap akurasi, dalam tahap ini anak
sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar
yang melandasi suatu pembuktian. Misal, siswa mengetahui pentingnya
aksioma-aksioma dari geometri euclid.
3. Teori
Intelegensi dari Guilford
Guilford membagi faktor intelek
menjadi sebagian kecil kemampuan mengingat dan sebagian yang lebih besar
kemampuan berpikir (Hudojo, 1988). Kemampuan berpikir dibagi lagi menjadi tiga
kategori yaitu kemampuan kognitif, kemampuan produktif, dan kemampuan
evaluatif. Faktor kognitif berkenaan dengan menemukan informasi dan menemukan
kembali informasi. Kemampuan produktif adalah kemampuan untuk menggunakan
informasi yang telah diketahui, kadang-kadang dengan maksud menurunkan
informasi. Kemampuan evaluatif adalah kemampuanuntuk menetapkan apakah
sesuatuyang dihasilkan oleh kemampuan produktif tadi sesuai, benar atau sudah
memenuhi keinginan. Faktor berpikir produktif dibagi menjadi dua yaitu
kemampuan berpikir konvergen dan divergen. Kemampuan konvergen menuju ke satu
jawaban. Kemampuan divergen menghasilkan jawaban yang berbeda.
Gambar 1.2. Hubungan
antara kemampuan Intelektual
4. Aliran
latihan mental
Aliran mengemukakan bahwa struktur
otak manusia terdiri dari gumpalan-gumpalan otot. Agar kuat maka harus dilatih
dengan beban, makin banyak latihan dan beban yang makin berat maka otak makin
kuat. Oleh karena itu jika anak ingin pandai maka ia harus dilatih otaknya
dengan cara banyak berlatih memahami dan mengerjakan soal-soal yang benar,
makin sukar materi makin pandai anak tersebut
.
.
5. Teori belajar sosial kultural (Vygotski)
Vygotski melihat
bahwa siswa diberikan gagasan-gagasan komplek (Daniels dalam Zevenbergen, 2004) tetapi dia memperluas pendekatan melalui internalisasi pengetahuan
dan mendapat
pencapaian yang lebih baik ketika siswa dipandu secara baik, pertanyaan
analitik yang diajukan oleh guru.
Guru yang ahli
adalah sentral dari teori vygotski, peran guru adalah untuk mengidentifikasikan
gambaran cara siswa dan kemudian penggunaan ceramah yang baik, pertanyaan akan
memancing siswa berpikir maju. Pengakuan gambaran siswa atau berfikir dikenal dengan proximal development dan
kegiatan guru untuk mendukung pembelajaran digambarkan sebagai scaffolding.
Ketika bekerja pada proximal development perhatian khusus diberikan dengan
bahasa bagaimana dia akan menafsirkan dan membangun pemahaman (Bell dan Woo dalam Zevenbergen, 2004). Pendekatan guru untuk membangun dan
menggunakan pertimbangan bahasa dan kesempatan komunikasi dengan lingkungan
kelas bertujuan untuk membangun pemahaman matematika.
Scaffolding
Guru yang baik
adalah guru yang mengetahui cara berfikir siswanya mengenai konsep matematika
dan kemudian mengetahui bagaimana untuk mengerakkan siswa ke arah yang lebih
komplek, lengkap dan membangun secara kuat melalui kegiatan pembelajaran dan
pertanyaan yang baik penting dalam fasilitas pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Suherman, E, at
al. 2003. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.
Zavenbergen, R, at al. 2004. Teaching
Mathematics in Primary Schools. Australia: ALLEN & UNWIN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar